DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Dampak Ketunanetraan terhadap Pembelajaran Bahasa
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    02 March 2009

    Dampak Ketunanetraan terhadap Pembelajaran Bahasa

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Makalah ini mencoba mengkaji implikasi ketunanetraan pada penyusunan bahan ajar bahasa bagi siswa tunanetra, khususnya siswa SMPLB. Kajian berangkat dari kajian teoretik tentang dampak ketunanetraan terhadap perkembangan fungsi kognitif anak, dampak ketunanetraan terhadap inteligensi anak, dan dampak ketunanetraan terhadap perkembangan bahasa anak.

    I. Definisi Tunanetra

    Pertuni (2004) mendefinisikan tunanetra sebagai „mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas)“.
    Definisi ini menyiratkan bahwa terdapat dua kelompok orang tunanetra berdasarkan sisa kemampuan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa. Kelompok pertama adalah mereka yang tidak memiliki sama sekali kemampuan untuk membaca tulisan biasa sehingga memerlukan media lain seperti Braille atau audio. Kelompok ini selanjutnya kita sebut tunanetra berat. Kelompok kedua adalah mereka yang masih memiliki kemampuan visual untuk membaca tulisan biasa dengan adaptasi tertentu. Adaptasi itu mencakup pembesaran huruf menjadi sekurang-kurangnya 18 point, atau penggunaan alat-alat magnifikasi (kaca pembesar atau CCTV). Karena status penglihatannya sering kali tidak stabil atau tidak dapat difungsikan untuk waktu yang cukup lama, maka kelompok ini juga perlu belajar membaca dengan format lain. Kelompok ini selanjutnya kita sebut tunanetra ringan atau low vision.

    Untuk mengatasi kehilangan atau keterbatasan penglihatan guna melakukan kegiatan sehari-harinya, orang tunanetra sering harus melakukan kegiatan itu dengan cara alternatif. Teknik alternatif adalah cara khusus (baik dengan ataupun tanpa alat bantu khusus) yang memanfaatkan indera-indera nonvisual atau sisa indera penglihatan untuk melakukan suatu kegiatan yang normalnya dilakukan dengan indera penglihatan. Karena begitu banyak teknik alternatif yang harus digunakannya, maka pola kehidupannya pun menjadi berubah, berbeda dari orang pada umumnya. Oleh karena itu, Jernigan (1994) mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut: “An individual may properly be said to be "blind" or a "blind person" when he has to devise so many alternative techniques - that is, if he is to function efficiently - that his pattern of daily living is substantially altered.”

    II. Ketunanetraan dan Kognisi

    Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam dunia kognitifnya, dan citra atau "peta" dunia setiap orang itu bersifat individual. Setiap orang mempunyai citra dunianya masing-masing karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh faktor-faktor berikut: (1) lingkungan fisik dan sosialnya, (2) struktur fisiologisnya, (3) keinginan dan tujuannya, dan (4) pengalaman-pengalaman masa lalunya (Krech, Crutchfield, & Ballachey, 1982). Lebih jauh Krech et al. mengemukakan bahwa meskipun tidak ada dua orang yang memiliki konsepsi yang persis sama mengenai dunia ini, tetapi terdapat banyak fitur yang sama dalam citra semua orang mengenai dunia ini. Hal ini terjadi karena semua orang mempunyai sistem syaraf yang serupa, karena semua orang menggunakan "ungkapan rasa" tertentu secara sama, dan karena semua orang harus menghadapi persoalan tertentu yang mirip. Dunia kognitif anggota suatu kelompok budaya tertentu bahkan memiliki tingkat kesamaan yang lebih besar karena adanya tingkat kesamaan yang lebih besar dalam keinginan dan tujuannya, dalam lingkungan fisik dan sosialnya, dan dalam pengalaman belajarnya.

    Dari keempat faktor yang menentukan kognisi individu sebagaimana dikemukakan oleh Krech et al. di atas, individu tunanetra menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkunganya. Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi mereka tentang dunia ini sejauh tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya.

    Perbedaan penting antara perkembangan konsep anak tunanetra dan anak awas – khususnya untuk konsep obyek fisik - adalah bahwa anak tunanetra mengembangkan konsepnya terutama melalui pengalaman taktual sedangkan anak awas melalui pengalaman visual. Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991) mengidentifikasi dua jenis persepsi taktual, yaitu synthetic touch dan analytic touch. Perabaan sintetis mengacu pada eksplorasi taktual terhadap obyek yang cukup kecil untuk dicakup oleh satu atau kedua belah tangan. Bila obyek itu terlalu besar untuk dapat dipersepsi melalui perabaan sintetis, maka dipergunakan perabaan analitis. Perabaan analitis adalah kegiatan meraba bagian-bagian suatu obyek secara suksesif dan kemudian secara mental mengkonstruksikan bagian-bagian tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Orang awas dapat mempersepsi bermacam-macam obyek atau bagian-bagian dari satu obyek sekaligus, tetapi orang tunanetra harus mempersepsinya satu demi satu atau bagian demi bagian sebelum dapat mengintegrasikannya menjadi satu konsep.

    Satu perbedaan penting lainnya antara perabaan dan penglihatan adalah bahwa perabaan menuntut jauh lebih banyak upaya sadar untuk memfungsikannya. Sebagaimana diamati oleh Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991), indera perabaan pada umumnya hanya berfungsi bila aktif dipergunakan untuk keperluan kognisi, sedangkan penglihatan aktif dan berfungsi selama mata terbuka. Oleh karena itu, untuk memperkaya kognisinya, anak tunanetra harus sering didorong untuk mempergunakan indera perabaannya untuk keperluan kognisi. Akan tetapi, di dalam masyarakat kita, di mana obyek-obyek tertentu ditabukan untuk diraba, dorongan untuk mempergunakan indera perabaan itu sering harus dibatasi demi menghindari perilaku yang bertentangan dengan norma-norma sosial.

    Baiknya persepsi taktual, sebagaimana halnya dengan baiknya persepsi visual, tergantung pada kemampuan individu untuk menggunakan berbagai macam strategi dalam memperolehnya (Berla; Griffin & Gerber – dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Anak tunanetra yang membandingkan antara pensil dan penggaris, misalnya, dengan menggunakan bermacam-macam strategi seperti membandingkan panjang masing-masing obyek itu dengan lengannya, dan mendengarkan perbedaan bunyinya bila obyek-obyek itu diketuk-ketukkan ke meja, akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang persamaan dan perbedaan antara kedua obyek tersebut. Satu strategi umum yang sangat penting untuk pengembangan persepsi taktual adalah kemampuan untuk memfokuskan eksplorasi pada fitur-fitur stimulus terpenting – yaitu bagian-bagian yang merupakan ciri khas dari obyek itu (Davidson – dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin dini anak tunanetra dilatih dalam penggunaan strategi ini, akan semakin baik perkembangan konsep taktualnya (Berla - dalam Hallahan & Kauffman, 1991).

    Seberapa besar perbedaannya dari anak awas, perkembangan konsep anak tunanetra itu akan sangat tergantung pada dua faktor, yaitu tingkat ketunanetraannya dan usia terjadinya ketunanetraan itu (Hallahan & Kauffman, 1991). Anak yang berkesempatan memperoleh pengalaman visual sebelum menjadi tunanetra, sejauh tertentu akan dapat memanfaatkannya untuk memahami konsep-konsep baru. Anak yang tunanetra sejak lahir pada umumnya akan lebih bergantung pada indera taktualnya untuk belajar tentang lingkungannya daripada mereka yang ketunanetraannya terjadi kemudian. Demikian pula, anak yang buta total akan lebih bergantung pada indera taktual untuk pengembangan konsepnya daripada mereka yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional (low vision).

    III. Ketunanetraan dan Inteligensi

    Apakah ketunanetraan berdampak terhadap inteligensi? Kolk dan Tillman (Kingsley, 1999) menarik kesimpulan yang berbeda. Kolk mengkaji sejumlah hasil studi mengenai inteligensi anak-anak tunanetra dan menyimpulkan bahwa pada umumnya skor IQ rata-rata tidak berbeda secara signifikan antara anak tunanetra dan anak awas. Akan tetapi, Tillman menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan. Dengan menggunakan skala verbal WISC (the Wechsler Intelligence Scale for Children), Tillman melaporkan skor IQ rata-rata 92 untuk 110 anak tunanetra usia 7 13 tahun, dibandingkan dengan 96,5 untuk kelompok kontrol yang awas. Tillman menganalisis hasil dari masing-masing item tes dan menemukan bahwa anak-anak yang awas lebih tinggi daripada anak-anak yang tunanetra dalam item tes pemahaman dan tugas-tugas yang menuntut anak untuk menemukan persamaan di antara item-item yang disajikan; tidak ada perbedaan antara anak yang tunanetra dan anak yang awas dalam skala informasi, aritmetika dan kosa kata; tetapi anak tunanetra dapat lebih baik dibanding anak yang awas dalam pengerjaan soal-soal yang menggunakan rentangan bilangan 1-10. Penjelasan yang dikemukakan oleh Tillman untuk perbedaan-perbedaan itu adalah bahwa anak-anak tunanetra kurang mampu mengintegrasikan semua jenis fakta yang sudah mereka pelajari, sehingga masing-masing item informasi itu seolah-olah disimpan dalam kerangka acuan yang terpisah dari item lainnya. Anak-anak yang tunanetra tidak mengalami kesulitan dalam item-item yang menuntut informasi/pengetahuan umum, seperti item-item dalam skala aritmetika dan kosa kata, tetapi mereka mengalami kesulitan dalam item-item seperti pada tes pemahaman atau penilaian tentang persamaan antarobyek, yang menuntut anak menghubungkan berbagai macam item informasi. Seolah-olah semua pengalaman pendidikan anak tunanetra itu disimpan di dalam ruangan yang terpisah-pisah. Jika hal ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa, untuk pembentukan persepsi, penglihatan memfasilitasi anak untuk menghubungkan pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda, hubungan yang membantunya dalam memanfaatkan berbagai pengalamannya secara efektif.
    Perbedaan temuan di atas mungkin diakibatkan oleh hakikat jenis tes yang dipergunakan untuk kelompok anak tunanetra dan kelompok anak awas. Pelopor dalam pembuatan tes inteligensi bagi individu tunanetra adalah Samuel P. Hayes (Hallahan & Kauffman, 1991). Hayes mengambil item-item verbal dari tes inteligensi Stanford-Binet untuk mengukur inteligensi individu tunanetra. Rasionalnya adalah bahwa item-item tersebut seyogyanya merefleksikan secara tepat inteligensi orang tunanetra karena item-item tersebut tidak begitu bergantung pada penglihatan seperti item-item pada performance test. Tes lain yang dirancang khusus bagi individu tunanetra adalah The Blind Learning Aptitude Test (BLAT), yang merupakan performance test, yang dirancang oleh Newland (Hallahan & Kauffman, 1991). Salah satu fiturnya adalah bahwa tes tersebut mengukur indera taktual (perabaan) - satu kemampuan yang dibutuhkan untuk membaca Braille.

    Baik dengan menggunakan tes verbal ataupun tes kinerja, kita harus sangat berhati-hati dalam membandingkan inteligensi individu tunanetra dan individu awas. Warren (Hallahan & Kauffman, 1991) mengemukakan bahwa hampir tidak mungkin kita dapat membandingkan secara langsung antara kedua kelompok tersebut karena sangat sulit untuk mendapatkan alat ukur yang sebanding. Menggunakan tes verbal tidak benar-benar memuaskan karena banyak ahli berpendapat bahwa inteligensi terdiri lebih dari sekedar fasilitas verbal. Menuntut individu awas untuk menggunakan indera perabaannya dan tidak menggunakan indera penglihatannya dalam mengerjakan tes taktual juga tidak adil, karena mereka tidak terbiasa dengan itu. Oleh karena itu, akan bijaksana bila temuan-temuan di atas disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya ketunanetraan tidak secara otomatis membuat inteligensi orang menjadi lebih rendah, sebagaimana dikemukakan oleh Hallahan & Kauffman (1991:309), "... there is no reason to believe that blindness results in lower intelligence."

    Secara keseluruhan, Lowenfeld (Mason & McCall, 1999) mengemukakan bahwa ketunanetraan mengakibatkan tiga keterbatasan yang serius pada kemampuan individu, dan, pada gilirannya, sangat berdampak pada perkembangan fungsi kognitif. Ketiga keterbatasan tersebut adalah: (1) keterbatasan dalam sebaran dan jenis pengalaman; (2) keterbatasan dalam kemampuan untuk bergerak di dalam lingkungan; dan (3) keterbatasan dalam interaksi dengan lingkungan. Akan tetapi, Kingsley (1999) mengemukakan bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa keterbatasan-keterbatasan akibat hilangnya penglihatan ini juga membatasi potensi. Ini berarti bahwa dengan intervensi yang tepat, yang dapat meminimalkan keterbatasan-keterbatasan itu – sebagaimana telah banyak dibuktikan (Beadles et al., 2000; Jindal-Snape et al., 1998)- potensi kognitif anak tunanetra itu dapat berkembang secara lebih baik. Bahwa kognisi anak tunanetra berbeda dengan kognisi anak awas pada umumnya, itu memang merupakan hakikat dari kognisi yang bersifat individual. Apakah dunia kognitif anak tunanetra lebih miskin daripada anak awas? Itu memerlukan penelitian lebih lanjut, dan tergantung pada alat ukur yang dipergunakan, karena, sebagaimana dikemukakan oleh Krech, Crutchfield, & Ballachey (1982), kognisi individu itu diorganisasikannya secara selektif. Hanya obyek-obyek tertentu, di antara semua obyek yang ada di "luar sana", yang masuk ke dalam konsepsinya tentang dunia luar, dan karakteristik obyek-obyek tersebut dapat berubah, disesuaikan dengan tuntutan psikologisnya. “The cognitive map of the individual is not, then, a photographic representation of the physical world; it is, rather, a partial, personal construction in which certain objects, selected out by the individual for a major role, are perceived in an individual manner” (Krech, Crutchfield, & Ballachey, 1982:20). Ini berarti bahwa seorang anak tunanetra mungkin miskin dengan konsep-konsep tertentu tetapi kaya dengan konsep-konsep lain – sesuai dengan selektivitasnya.

    IV. Inteligensi dan Bahasa

    Bahasa dan inteligensi begitu berkaitan sehingga ada orang yang mendefinisikan ketunagrahitaan berdasarkan defisit bahasanya.

    Diasumsikan secara meluas bahwa bahasa diperlukan untuk sebagian besar proses berpikir tingkat tinggi, dan oleh karenanya sebagian besar item dalam kebanyakan tes inteligensi melibatkan stimulus verbal, respon verbal, atau keduanya. Defisit dalam keterampilan bahasa mungkin merupakan karakteristik yang paling penting yang membedakan antara orang tunagrahita dan non-tunagrahita.

    Karena tidak ada cukup bukti yang menunjukkan dampak ketunanetraan terhadap inteligensi, maka dapat diasumsikan bahwa ketunanetraan tidak berdampak terhadap kemampuan bahasa individu.

    V. Ketunanetraan dan Perkembangan Bahasa Anak

    Pada umumnya para ahli yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat defisiensi dalam bahasa anak tunanetra (Hallahan & Kauffman, 1991; Kingsley, 1999; Umstead, 1975; Zabel, 1982). Mereka mengacu pada banyak studi yang menunjukkan bahwa siswa-siswa tunanetra tidak berbeda dari siswa-siswa yang awas dalam hasil tes intelegensi verbal. Mereka juga mengemukakan bahwa berbagai studi yang membandingkan anak-anak tunanetra dan awas tidak menemukan perbedaan dalam aspek-aspek utama perkembangan bahasa. Karena persepsi auditer lebih berperan daripada persepsi visual sebagai media belajar bahasa, maka tidaklah mengherankan bila berbagai studi telah menemukan bahwa anak tunanetra relatif tidak terhambat dalam fungsi bahasanya. Banyak anak tunanetra bahkan lebih termotivasi daripada anak awas untuk menggunakan bahasa karena bahasa merupakan saluran utama komunikasinya dengan orang lain.

    Satu defisiensi yang oleh beberapa peneliti ditemukan pada bahasa anak tunanetra – tetapi dibantah oleh beberapa peneliti lain (Zabel, 1982) adalah tingginya kadar verbalisme pada bahasa mereka, yaitu penggunaan kata-kata tanpa diverifikasi dengan pengalaman konkret. Verbalisme ini, menurut DeMott (Umstead, 1975), secara konseptual sama bagi anak tunanetra maupun anak awas, karena makna kata-kata dipelajarinya melalui konteksnya dan penggunaanya di dalam bahasa. Sebagaimana halnya dengan semua anak, anak tunanetra belajar kata-kata yang didengarnya meskipun kata-kata itu tidak terkait dengan pengalaman nyata dan tak ada maknanya baginya.

    Penelitian tentang perkembangan bahasa dan bicara pada anak balita tunanetra dan awas yang dilakukan oleh Umstead (Umstead, 1975) menghasilkan temuan-temuan sebagai berikut. Anak tunanetra dan anak awas melalui proses yang sama dalam caranya belajar bahasa dan bicara. Kaidah dasar bahasa sudah dikuasai oleh kedua kelompok anak ini sebelum usia empat tahun. Sebagaimana halnya dengan semua anak, jika anak tunanetra mengalami kelambatan dalam perkembangan fisiknya, proses perolehan bahasanya pun akan lebih lambat pula. Pada awal perkembangan bicaranya, beberapa anak tunanetra menunjukkan kelambatan, mungkin karena anak-anak ini tidak dapat mengamati gerakan bibir dan mulut orang lain. Terbatasnya cara belajar mereka melalui pendengaran tanpa masukan visual itu tampaknya mengurangi efisiensi perkembangan bicaranya tetapi tidak mengakibatkan kesulitan yang signifikan. Kurangnya stimulasi vokal dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan bicara. Jika bayi atau anak tunanetra tidak diajak bicara dan tidak diperlakukan dengan kasih sayang, maka perkembangan bicaranya secara umum akan terhambat. Banyak anak tunanetra lambat dalam pertumbuhan kosa katanya, tetapi ini tampaknya terkait dengan cara orang dewasa memperlakukannya. Pertumbuhan kosa katanya itu akan normal jika anak itu diberi pengalaman konkret dengan obyek yang sama dan dilibatkan dalam kegiatan yang sama sehingga mereka dapat turut melibatkan diri dalam percakapan mengenai kegiatan tersebut.

    Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa kalaupun anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya, hal itu bukan semata-mata akibat langsung dari ketunanetraannya melainkan terkait dengan cara orang lain memperlakukannya. Ketunanetraan tidak menghambat pemrosesan informasi ataupun pemahaman kaidah-kaidah bahasa.

    VI. Ketunanetraan dan Bahasa Tubuh

    Bahasa tubuh (body language), yaitu postur atau gerakan tubuh (termasuk ekspresi wajah dan mata) yang mengandung makna pesan, merupakan media komunikasi yang penting untuk melengkapi bahasa lisan di dalam komunikasi sosial. Menurut istilah yang dipergunakan oleh Jandt (Supriadi, 2001), ini merupakan bahasa nonverbal kinesics. Jika bahasa tubuh anak tidak sesuai dengan bahasa tubuh kawan-kawannya, sejauh tertentu sosialisasinya dapat terganggu. Bahasa tubuh, sebagaimana halnya bentuk-bentuk bahasa nonverbal lainnya, dapat menjadi sumber kesalahan komunikasi atau justru memperlancarnya bila dipahami dengan baik (Supriadi, 2001). Nuansa bahasa tubuh yang luwes, yang terintegrasikan ke dalam pola perilaku sebagaimana yang dapat kita amati pada anak awas pada umumnya, sangat kontras dengan bahasa tubuh yang terkadang sangat kaku yang dapat kita amati pada banyak anak tunanetra (Kingsley, 1999).

    Tiga ekspresi bahasa nonverbal lainnya yang diidentifikasi oleh Jandt, yaitu proxemics (jarak berkomunikasi), haptics (sentuhan fisik), serta cara berpakaian dan berpenampilan, juga memerlukan cara yang berbeda bagi anak tunanetra untuk mempelajarinya. Bila kita menghendaki agar anak tunanetra diterima dengan baik di dalam pergaulan sosial di masyarakat luas, mengajari mereka menggunakan bahasa nonverbal merupakan suatu keharusan. Di dalam masyarakat dengan “high-context cultures”, seperti masyarakat Indonesia dan masyarakat non-Barat umumnya, bahasa nonverbal bahkan jauh lebih penting daripada bahasa verbal (Supriadi, 2001).

    Mengajarkan keterampilan sosial (termasuk di dalamnya penggunaan bahasa nonverbal) kepada anak tunanetra dapat merupakan tugas yang sangat menantang karena keterampilan tersebut secara tradisi dipelajari melalui modeling dan umpan balik menggunakan penglihatan (Farkas et al. - dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Bahasa nonverbal, yang pada umumnya diperoleh anak awas secara insidental melalui proses modeling, harus diajarkan secara sistematis kepada anak yang tunanetra. Akan tetapi, sejumlah peneliti telah berhasil dalam mengajarkan keterampilan bahasa nonverbal kepada anak tunanetra melalui prinsip-prinsip behavioristik (McGaha & Farran, 2001; Jindal-Snape et al., 1998; Hallahan & Kauffman, 1991).

    VII. Implikasi dan Rekomendasi

    1. Karena perkembangan fungsi kognitif dan inteligensi anak tunanetra tidak terbukti secara meyakinkan berbeda dari anak-anak pada umumnya, Dan karena para ahli pada umumnya yakin bahwa kehilangan penglihatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan memahami dan menggunakan bahasa, dan secara umum mereka berkesimpulan bahwa tidak terdapat defisiensi dalam bahasa anak tunanetra, maka penyusunan bahan ajar bahasa bagi siswa tunanetra seyogyanya didasarkan atas: (1) perkembangan fungsi kognitif dan inteligensi anak pada umumnya, dan (2) didasarkan atas perkembangan bahasa anak pada umumnya untuk rentangan usia yang sama.

    2. Wacana-wacana yang terkandung dalam bahan ajar bahasa bagi siswa tunanetra seyogyanya dirancang sedemikian rupa sehingga dapat membantu mengatasi keterbatasan yang mungkin diakibatkan oleh ketunanetraan sebagaimana dikemukakan oleh Lowenfeld di atas.
    3. Defisiensi bahasa tubuh pada anak tunanetra dapat dibantu diatasi dengan memasukkan wacana-wacana yang mengandung penggunaan bahasa tubuh. Drama dan latihan pementasannya tampaknya sangat efektif untuk mencapai maksud tersebut.
    4. Di depan telah dikemukakan bahwa terdapat dua kelompok tunanetra berdasarkan sisa kemampuan penglihatannya untuk membaca, yaitu (1) tunanetra berat yang membaca Braille dan (2) tunanetra ringan yang masih dapat membaca tulisan biasa berukuran besar. Oleh karena itu, pengadaan buku ajar bahasa bagi siswa tunanetra seyogyanya mempertimbangkan kedua jenis media baca tersebut.
    5. Mengingat perkembangan fungsi kognitif, inteligensi dan perkembangan bahasa tidak terbukti dipengaruhi secara signifikan oleh ketunanetraan, maka pengadaan bahan ajar bahasa bagi siswa tunanetra sesungguhnya dapat dilakukan dengan sekedar menyalin bahan ajar yang berlaku bagi siswa pada umumnya ke dalam format tulisan Braille. Penyalinan ke dalam format Braille itu hendaknya berpedoman pada sistem Braille bahasa Indonesia yang telah dibakukan oleh Depdiknas pada tahun 2000.



    Daftar Pustaka

    Hallahan, D.p. & Kauffman, J.m. (1991). Exceptional Children Introduction to Special Education. Virginia:Prentice hall International, Inc.
    Jernigan, K. (1994). If Blindness Comes. Baltimore: National Federation of the Blind.
    Jindal Snape, D.; Kato, M.; Maekawa, H. (1998). "Using Self Evaluation Procedures to Maintain Social Skills in a Child Who Is Blind". Journal of Visual Impairment and Blindness, May 1998, 362 366.
    Kingsley, M. (1999). “The Effects of a Visual Loss”, dalam Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers
    Krech, D.; Crutchfield, R. S.; & Ballachey, E. L. (1982). Individual in Society. Berkeley: McGraw-Hill International Book Company.
    McGaha, C. G. & Farran, D. C. (2001). “Interactions in any Inclusive Classroom: The Effects of Visual Status and Setting”. Journal of Visual Impairments and Blindness. February 2001, 80-94.

    Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers
    Marzano, R. J. (1998). A Theory Based Meta Analysis of Research on Instruction. Aurora, Colorado: Mid continent Regional Educational Laboratory.

    McGaha, C. G. & Farran, D. C. (2001). “Interactions in any Inclusive Classroom: The Effects of Visual Status and Setting”. Journal of Visual Impairments and Blindness. February 2001, 80-94.
    Pertuni (2004). Anggaran Rumah Tangga Persatuan Tunanetra Indonesia, Pasal 1 Ayat 1.
    Supriadi, D. (2001). KONSELING LINTAS-BUDAYA: ISU-ISU DAN RELEVANSINYA DI INDONESIA. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Bimbingan dan Konseling Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

    Zabel, M. K. (1982). “Characteristics of Handicapping Conditions”. In: Neely, M. A. (1982). Counseling and Guidance Practices with Special Education Students. Homewood, Illinois: The Dorsey Press.

    Labels: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI