DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Pendidikan Inklusif: Landasan
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    11 June 2008

    Pendidikan Inklusif: Landasan

    Bagian dari buku
    Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber

    Terjemahan dari
    Inclusive Education where there are Few Resources

    Oleh Sue Stubbs

    Alih Bahasa oleh Susi Septaviana R.

    Edisi bahasa Indonesia diedit oleh Didi Tarsidi

    Disponsori oleh IDP Norway

    Bab 1: Landasan Pendidikan Inklusif



    Pendidikan Inklusif sebagai Hak Asasi Manusia

    Bab ini akan meninjau sekilas tentang dokumen-dokumen internasional mengenai hak asasi manusia yang terkait dengan Pendidikan Inklusif. Kemudian akan dibahas kekuatan dan kelemahan dokumen-dokumen internasional tersebut.

    Instrumen-instrumen Internasional yang relevan dengan Pendidikan Inklusif:
    1. 1948: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
    2. 1989: Konvensi PBB tentang Hak Anak
    3. 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, Jomtien
    4. 1993: Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang ketunaan
    5. 1994: Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus
    6. 1999: Tinjauan 5 tahun Salamanca
    7. 2000: Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia, Dakar
    8. 2000: Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan
    9. 2001: Flagship PUS tentang Pendidikan dan Ketunaan

    1.1. Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia
    Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menegaskan bahwa:
    “Setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.”
    Namun, anak dan orang dewasa penyandang ketunaan sering kali direnggut dari haknya yang fundamental ini. Hal ini sering didasarkan atas asumsi bahwa penyandang ketunaan tidak dipandang sebagai umat manusia yang utuh, maka pengecualian pun diberlakukan dalam hal hak universalnya. Dengan melakukan lobi-lobby, kelompok penyandang ketunaan memastikan bahwa instrumen-instrumen hak asasi manusia PBB berikutnya menyebutkan secara spesifik orang penyandang ketunaan, dan menekankan bahwa SEMUA penyandang ketunaan, tanpa memandang tingkat keparahannya, memiliki hak atas pendidikan.
    Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989, suatu instrumen yang secara sah mengikat, yang telah ditandatangani oleh semua negara kecuali dua negara (Amerika Serikat dan Somalia), lebih jauh menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya “wajib dan bebas biaya bagi semua” (pasal 28). Konvensi tentang Hak Anak PBB memiliki empat Prinsip Umum yang menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal tentang pendidikan:
    i) Non diskriminasi (Pasal 2) menyebutkan secara spesifik tentang anak penyandang ketunaan.
    ii) Kepentingan Terbaik Anak (Pasal 3).
    iii) Hak untuk Kelangsungan Hidup dan Perkembangan (Pasal 6).
    iv) Menghargai Pendapat Anak (Pasal 12).

    Prinsip penting lainnya yang dinyatakan oleh komite monitoring adalah bahwa “Kesemua hak itu tak dapat dipisahkan dan saling berhubungan”. Secara singkat, ini berarti bahwa meskipun menyediakan pendidikan di sekolah luar biasa untuk anak penyandang ketunaan itu memenuhi haknya atas pendidikan, tetapi ini dapat melanggar haknya untuk diperlakukan secara non-diskriminatif, dihargai pendapatnya dan hak untuk tetap berada di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya.
    Walaupun Pasal 23 secara khusus memfokuskan pada anak penyandang ketunaan, tetapi memiliki kelemahan karena membuat hak anak penyandang ketunaan ‘tergantung pada sumber-sumber yang ada’ dan memfokuskan pada ‘kebutuhan khusus’ tanpa mendefinisikannya. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam konteks prinsip-prinsip dasar pendidikan, ditambah Pasal 28 dan 29 yang berlaku untuk SEMUA anak. Lihat Lampiran 1 untuk rinciannya.

    1.2. Idealisme Pendidikan untuk Semua
    Selama beberapa dasawarsa setelah ditetapkannya Deklarasi Universal, banyak upaya dilakukan untuk menciptakan pendidikan yang universal. Namun, dengan cepat terlihat adanya jurang pemisah antara idealisme dan realitas. Pada tahun 1980-an, pertumbuhan pendidikan universal tidak hanya melambat, tetapi di banyak negara bahkan berbalik arah. Diakui bahwa ‘pendidikan untuk semua’ tidak terjadi secara otomatis.
    Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990 mencoba untuk menjawab beberapa tantangan ini. Deklarasi Jomtien tersebut melangkah lebih jauh daripada Deklarasi Universal dalam Pasal III tentang “Universalisasi Akses dan Mempromosikan Kesetaraan”. Dinyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Ini mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang ketunaan. Lihat lampiran 2 untuk lebih rincinya.
    Walaupun istilah ‘inklusi’ tidak digunakan di Jomtien, terdapat beberapa pernyataan yang mengindikasikan pentingnya menjamin bahwa orang-orang dari kelompok marginal mendapatkan akses ke pendidikan dalam sistem pendidikan umum.
    Ringkasan:
    • Jomtien menyatakan kembali bahwa pendidikan merupakan hak mendasar bagi SEMUA orang.
    • Jomtien mengakui bahwa kelompok-kelompok tertentu terasingkan dan menyatakan bahwa “sebuah komitmen aktif harus dibuat untuk menghilangkan kesenjangan pendidikan .... kelompok-kelompok tidak boleh terancam diskriminasi dalam mengakses kesempatan belajar...”. (Pasal III, ayat 4)
    • Jomtien menyatakan bahwa “langkah-langkah yang diperlukan perlu diambil untuk memberikan akses ke pendidikan yang sama kepada setiap kategori penyandang ketunaan sebagai bagian yang integral dari sistem pendidikan”. (Pasal II ayat 5)
    • Namun, dokumen Jomtien itu tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan ‘bagian integral’ itu, dan tidak secara tegas menyatakan lebih mendukung pendidikan inklusif daripada pendidikan segregasi.
    • Jomtien juga menyatakan bahwa ‘pembelajaran dimulai saat lahir’, dan mempromosikan pendidikan usia dini, serta pentingnya menggunakan berbagai macam sistem pelaksanaan pendidikan dan pentingnya keterlibatan keluarga dan masyarakat.

    1.3. Pendidikan Inklusif dan Para Penyandang ketunaan
    Pendidikan Inklusif tidak HANYA menyangkut inklusi penyandang ketunaan. Sebagaimana ditekankan dalam dokumen Jomtien, terdapat banyak kelompok yang rentan akan eksklusi dari pendidikan, dan inklusi pada esensinya adalah menciptakan sistem yang dapat mengakomodasi semua orang. Namun, demi alasan historis dan alasan lainnya (dibahas kemudian), inklusi penyandang ketunaan telah memberikan tantangan tertentu dan kesempatan untuk kebijakan dan praktek sistem pendidikan umum. Dokumen-dokumen selanjutnya yang spesifik mengenai penyandang ketunaan setelah dokumen Jomtien lebih jauh mengklarifikasi apa yang dimaksud dengan hak penyandang ketunaan atas pendidikan dalam prakteknya.
    Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang ketunaan (1993) (lihat lampiran 3) terdiri dari peraturan-peraturan yang mengatur semua aspek hak penyandang ketunaan. Peraturan 6 memfokuskan pada pendidikan, dan selaras dengan dokumen Jomtien, pendidikan bagi para penyandang ketunaan harus merupakan bagian integral dari pendidikan umum, dan bahwa Negara seyogyanya bertanggung jawab atas pendidikan bagi penyandang ketunaan. Terlalu sering, pendidikan untuk penyandang ketunaan diselenggarakan oleh lembaga suasta, sehingga ‘membebaskan’ pemerintah dari tanggung jawabnya. Peraturan 6 mempromosikan Pendidikan Inklusif (disebut pendidikan integrasi pada masa itu).
    Poin-poin kuncinya adalah:
    • Peraturan Standar PBB menekankan bahwa Negara harus bertanggung jawab atas pendidikan penyandang ketunaan dan harus:
    a) mempunyai kebijakan yang jelas,
    b) mempunyai kurikulum yang fleksibel,
    c) memberikan materi yang berkualitas, menyelenggarakan pelatihan guru dan memberikan bantuan yang berkelanjutan.
    • Inklusi didukung dengan beberapa kondisi utama; harus didukung dengan sumber-sumber yang tepat dan dengan kualitas tinggi – bukan ‘pilihan yang murah’.
    • Program-program berbasis masyarakat dipandang sebagai dukungan yang penting terhadap Pendidikan Inklusif.
    • Pendidikan luar biasa tidak dikesampingkan di mana sistem pendidikan umum tidak memadai terutama untuk siswa tunarungu dan buta tuli. (Peraturan 6, paragraf 8 dan 9)

    1.4. Pendidikan Inklusif dan Kebutuhan Khusus
    Peraturan Standar berakar pada gerakan Hak penyandang ketunaan dan mencerminkan pengalaman berbagai kelompok penyandang ketunaan. Penyandang tunanetra dan tunarungu (meskipun jumlahnya sedikit) memperoleh banyak keuntungan dari sistem pendidikan segregasi. Tanpa SLB, mereka mungkin tidak memperoleh kesempatan pendidikan atau tidak dapat mengakses kurikulum di sekolah reguler. Konferensi Salamanca setahun kemudian didasarkan atas perspektif para profesional yang bekerja di sekolah-sekolah, yang berusaha menemukan cara agar semua anak dapat belajar bersama-sama. Perbedaan utamanya adalah bahwa Peraturan Standar membicarakan tentang suatu kelompok tertentu (penyandang ketunaan) dan hak-haknya. Dalam Salamanca fokusnya terletak pada keberagaman karakteristik dan kebutuhan pendidikan anak.
    Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus (1994) hingga saat ini masih merupakan dokumen internasional utama tentang prinsip-prinsip dan praktek Pendidikan Inklusif. Dokumen ini mengemukakan beberapa prinsip dasar inklusi yang fundamental, yang belum dibahas dalam dokumen-dokumen sebelumnya. (lihat lampiran 4 untuk lebih rinci)

    Pernyataan Salamanca
    Beberapa konsep inti Inklusi meliputi:
    • Anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam karakteristik dan kebutuhannya.
    • Perbedaan itu normal adanya.
    • Sekolah perlu mengakomodasi SEMUA anak.
    • Anak penyandang ketunaan seyogyanya bersekolah di lingkungan sekitar tempat tinggalnya.
    • Partisipasi masyarakat itu sangat penting bagi inklusi.
    • Pengajaran yang terpusat pada diri anak merupakan inti dari inklusi.
    • Kurikulum yang fleksibel seyogyanya disesuaikan dengan anak, bukan kebalikannya.
    • Inklusi memerlukan sumber-sumber dan dukungan yang tepat.
    • Inklusi itu penting bagi harga diri manusia dan pelaksanaan hak asasi manusia secara penuh.
    • Sekolah inklusif memberikan manfaat untuk SEMUA anak karena membantu menciptakan masyarakat yang inklusif.
    • Inklusi meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya pendidikan.

    Satu paragraf dalam Pasal 2 memberikan argumen yang sangat baik untuk sekolah inklusif:
    “Sekolah reguler dengan orientasi inklusif merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua; lebih dari itu, sekolah inklusif memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan.”

    1.5. Realitas Pendidikan untuk Semua
    Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal (2000), diselenggarakan untuk mengevaluasi pelaksanaan Dasawarsa Pendidikan untuk Semua yang telah diawali di Jomtien. Telah diketahui sebelumnya bahwa tujuan PUS dari Jomtien itu belum tercapai. Lebih dari 117 juta anak masih belum bersekolah. Konferensi Dakar sangat dikecam oleh komunitas non-pemerintah Internasional karena terlalu berkiblat pada donor dan hanya sekedar menggeser batas waktu untuk pencapaian tujuan PUS dari tahun 2000 menjadi 2015. Dengan kata lain, idealisme PUS belum diterjemahkan menjadi realitas. (Lihat lampiran 5 dan 6 untuk lebih rinci)
    Dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok yang termarjinalisasi, terdapat penekanan yang lebih besar pada penghapusan kesenjangan jender dan mempromosikan akses anak perempuan ke sekolah. Tetapi sayangnya anak penyandang ketunaan tidak secara spesifik disebutkan walaupun istilah ‘inklusif’ dipergunakan:
    Dalam kerangka Dakar, pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya berjanji untuk: “Menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, sehat, inklusif dan dilengkapi dengan sumber-sumber yang memadai, yang kondusif untuk kegiatan belajar dengan tingkat pencapaian yang didefinisikan secara jelas untuk semua” (pasal 8).
    Kerangka Dakar juga menyatakan:
    “... untuk menarik perhatian dan mempertahankan anak-anak dari kelompok-kelompok termarjinalisasi dan terasing, sistem pendidikan harus merespon secara fleksibel ... Sistem pendidikan harus inklusif, secara aktif mencari anak yang belum bersekolah dan merespon secara fleksibel terhadap keadaan dan kebutuhan semua siswa” (penjelasan pada paragraf 33).
    Tidak disebutkannya secara spesifik tentang anak penyandang ketunaan itu menggugah berbagai lembaga yang mempromosikan Pendidikan Inklusif, dan sebagai hasil dari beberapa pertemuan berikutnya antara UNESCO dan Kelompok Kerja Internasional untuk Penyandang ketunaan dan Pembangunan (IWGDD), maka Program Flagship untuk Pendidikan dan Penyandang ketunaan pun diluncurkan pada akhir tahun 2001. Tujuan flagship tersebut adalah untuk:
    “Menempatkan isu ketunaan dengan tepat pada agenda pembangunan ... dan ... memajukan pendidikan inklusif sebagai pendekatan utama untuk mencapai tujuan PUS.” (situs web UNESCO EFA Flagship Initiative).
    Kelebihan konferensi Dakar adalah bahwa terdapat fokus yang lebih kuat untuk mengembangkan Rencana Aksi Nasional yang kokoh dam strategi regional untuk implementasi dan monitoring, yang merupakan kelemahan pada konferensi Jomtien, dan masalah ketunaan disebutkan secara spesifik di dalam beberapa dokumennya.

    1.6. Penurunan angka kemiskinan dan Pendidikan Inklusif
    Perhatian utama pemerintah dan lembaga-lembaga multilateral secara global saat ini adalah penurunan angka kemiskinan. Tujuan Pembangunan Milenium ditetapkan dalam Pertemuan Puncak Pembangunan Milenium PBB (September 2000) dan telah didukung oleh Bank Dunia dan 149 kepala negara. Dua tujuan pertamanya adalah:
    1. Memberantas Kemiskinan dan Kelaparan yang Ekstrem
    2. Mencapai Pendidikan Dasar Universal.
    Kerangka Aksi Dakar menekankan adanya hubungan yang erat antara pemberantasan kemiskinan dan pencapaian pendidikan untuk semua:
    Pasal 5 ... Tanpa kemajuan yang pesat menuju pendidikan untuk semua, target yang disetujui secara nasional dan internasional untuk penurunan angka kemiskinan tidak akan tercapai dan ketidaksetaraan antara negara-negara dan di dalam masyarakat akan melebar.
    Pasal 6: “Pendidikan merupakan kunci keberlangsungan pembangunan...”
    Tujuan ini tidak akan tercapai kecuali anak dan orang dewasa penyandang ketunaan secara spesifik ditargetkan dan dilibatkan karena mereka merupakan unsur masyarakat termiskin di kalangan yang miskin. Tercapainya pendidikan dasar universal tidak hanya ditandai dengan masuknya anak secara secara fisik ke sekolah; agar pendidikan dapat menciptakan perubahan, pendidikan harus relevan dan efektif.
    Pendidikan inklusif merupakan suatu strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari anak dan masyarakat. Pendidikan inklusif menjamin akses dan kualitas.



    Lanjut ke Bab 2: Darimana asal Pendidikan Inklusif?

    Kembali ke Pendahuluan

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI