DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Pendidikan Inklusif: Kesempatan dan Tantangan
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    27 June 2008

    Pendidikan Inklusif: Kesempatan dan Tantangan

    Bagian dari buku
    Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber

    Terjemahan dari
    Inclusive Education where there are Few Resources

    Oleh Sue Stubbs

    Alih Bahasa oleh Susi Septaviana R.

    Edisi bahasa Indonesia diedit oleh Didi Tarsidi

    Disponsori oleh IDP Norway



    Bab 5: Kesempatan dan Tantangan dalam Pendidikan Inklusif: Beberapa Studi Kasus



    5.1. Belajar dari Praktek yang Baik di Selatan
    Terdapat semakin banyak contoh tentang praktek pendidikan inklusif yang baik dari berbagai budaya dan konteks. Walaupun pendidikan inklusif bukan merupakan cetak biru yang dapat dialihkan dari satu budaya ke budaya lainnya, tetapi terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil terutama jika hambatan yang dihadapi dan sumber-sumber yang tersedia sangat mirip. Seminar Agra menghimpun lebih dari 40 praktisi pendidikan inklusif yang bekerja di berbagai negara yang secara ekonomi lebih miskin. Mereka mendapati bahwa mereka dapat belajar jauh lebih banyak dari sesama negara Selatan dibanding dari para ahli dan praktisi dari Utara yang memiliki tingkat ketersediaan yang berbeda dan sistem yang berbeda pula. Dalam banyak hal, pengalaman mereka tidak hanya relevan dengan sesama negara miskin, tetapi juga dapat memberikan pelajaran yang berharga bagi perkembangan pendidikan inklusif di Utara.
    Seminar Agra menghasilkan kesimpulan berikut tentang potensi praktis pendidikan inklusif:
    • Pendidikan inklusif tidak terhambat oleh banyaknya jumlah siswa dalam satu kelas
    • Pendidikan inklusif tidak perlu terhambat oleh kurangnya sumber daya materi
    • Hambatan sikap terhadap inklusi jauh lebih besar daripada hambatan yang berupa kesulitan ekonomi
    • Tenaga ahli pendukung tidak harus tenaga tetap sekolah yang bersangkutan
    • Pendidikan inklusif dapat memberikan kesempatan untuk peningkatan mutu sekolah
    • Alumni penyandang ketunaan dan orang tuanya dapat berkontribusi banyak terhadap pendidikan inklusif
    • Pendidikan inklusif merupakan bagian dari pergerakan yang lebih besar menuju inklusi sosial.

    Contoh-contoh berikut menunjukkan bagaimana suatu kerangka yang kuat, implementasi di dalam konteks praktis yang mempertimbangkan faktor budaya, dan partisipasi aktif yang berkesinambungan dari semua stakeholder utama, dapat memberikan kontribusi terhadap program pendidikan inklusif yang dinamis, tepat dan berkesinambungan. Ini tidak berarti bahwa tidak ada kelemahan atau tantangannya, tetapi dasar-dasarnya ada yang memungkinkan kita mengatasi berbagai kelemahan dan tantangan itu.

    5.2. Pendidikan Inklusif Dihubungkan dengan Peningkatan mutu sekolah

    Mengembangkan jejaring yang kuat

    Di Afrika Selatan (buletin EENET no.2), tantangan utama yang dihadapi pendidikan adalah: mengenali dan mengatasi berbagai macam kebutuhan seluruh populasi siswa, untuk mempromosikan pembelajaran yang efektif untuk semua. Pendekatan yang dipergunakan adalah menganalisis hambatan-hambatan yang merintangi pembelajaran untuk berbagai kelompok anak. Diakui bahwa keseluruhan bedaya, etos dan struktur sistem pendidikan harus berubah jika ingin memenuhi kebutuhan semua siswa. Pendekatan ‘pembelajaran bebas hambatan’ ini secara instrinsik mendukung inklusi.
    Hambatan-hambatan belajar itu teridentifikasi sebagai:
    • Hambatan dalam kurikulum
    • Pusat pembelajaran
    • Sistem pendidikan
    • Konteks sosial yang lebih luas
    • Hambatan sebagai akibat dari kebutuhan siswa.

    Pendekatan-pendekatan utama untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut:
    • Setiap pusat pembelajaran dilengkapi dengan struktur pendukung yang terdiri dari guru, tetapi juga dilengkapi dengan sumber daya masyarakat dan layanan tenaga ahli. Oleh karena itu pada hakikatnya berbasis masyarakat.
    • Adanya pusat dukungan lokal untuk memberikan pelatihan dan dukungan kepada guru, bukan kepada individu siswa pada umumnya.
    • Orang tua, guru, siswa (atau para pembelanya), dengan kata lain semua stakeholder utama, akan dilibatkan dalam manajemen, perencanaan kurikulum, pengembangan sistem pendukung, dan dalam proses belajar dan mengajar.
    • Kapasitas pendanaan, kepemimpinan dan manajemen dikembangkan dengan cara yang berkesinambungan.

    Propinsi Anhui di Cina merupakan contoh yang baik untuk kebijakan pemerintah yang memfasilitasi inklusi. Anhui adalah satu propinsi yang miskin dengan penduduk 56 juta orang, dan untuk mencapai pendidikan untuk semua, mereka mengakui bahwa anak-anak penyandang ketunaan perlu diinklusikan. Pendidikan usia dini sudah diprioritaskan dan sistem pendidikan taman kanak-kanak berkembang dengan pesat, dan banyak di antaranya mempunyai lebih dari seribu orang siswa. Program perintis yang difokuskan pada reformasi pendidikan merupakan sistem yang sangat formal; anak-anak usia tiga tahun sudah diajarkan untuk duduk rapi, dan sering kali jam pelajarannya panjang.

    Anhui, Cina - Taman Kanak-Kanak Inklusif

    Program perintis pendidikan inklusif ini mendorong terjadinya perubahan-perubahan sebagai berikut:
    • Anak belajar aktif, dalam kelompok kerja dan bermain
    • Terjalin kerjasama yang lebih erat dengan keluarga
    • Dipergunakan pendekatan seluruh sekolah (whole school approach) dan dukungan belajar antarteman sebaya
    • Dukungan dari administrator dan masyarakat setempat melalui pembentukan komite
    • Pelatihan guru berbasis sekolah yang berkesinambungan
    • Pengintegrasian anak tunagrahita secara bertahap.

    LAOS
    Reformasi Pendidikan Guru dan Pendidikan Inklusif
    Pada awal tahun 1990-an, Laos mengalami reformasi sistem pendidikannya dengan memperkenalkan metode pengajaran yang aktif dan terfokus pada diri anak untuk meningkatkan kualitas tetapi biayanya tetap rendah, dalam upayanya untuk mendidik semua anak. Memberikan pendidikan kepada anak penyandang ketunaan merupakan bagian dari tujuan PUS tingkat nasional, dan program perintis pendidikan inklusif berhasil karena sepenuhnya dikaitkan dengan reformasi sistem.
    “Reformasi metodologi mengajar dan pendidikan guru, disertai dengan kurikulum yang relevan... telah melancarkan jalan bagi integrasi.”
    “Laos tidak memiliki sekolah khusus untuk anak penyandang ketunaan yang merupakan keuntungan yang sangat besar bagi Kementrian Pendidikan karena dengan demikian dapat membangun sistem yang menjangkau semua anak.”
    “Pengalaman Program pendidikan inklusif di Laos telah menunjukkan bahwa dengan perencanaan yang seksama, implementasi, monitoring dan dukungan yang tepat, dan dengan menggunakan semua sumber yang ada, dua tujuan sekaligus, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan untuk semua dan mengintegrasikan anak penyandang ketunaan, dapat berjalan selaras.
    (Janet Holdsworth, Buletin EENET no. 2)
    NICARAGUA - Membantu Guru untuk Merenung
    Paket Sumber UNESCO tentang Kebutuhan Khusus di Kelas dipergunakan di Nicaragua untuk mengembangkan praktek inklusi.
    Paket tersebut membantu guru:
    • Merenungkan hal-hal yang telah dipraktekkannya sendiri
    • Melaksanakan penelitian tindakannya sendiri
    • Mengidentifikasi masalah yang dihadapinya, mempelajari dan menganalisisnya, dan menciptakan jalan pemecahannya sendiri.
    "Pengalaman kami saat ini menunjukkan bahwa sebagian dari keberhasilan proyek pendidikan inklusif kami itu adalah berkat semakin meningkatnya kesadaran akan metode mengajar yang kami praktekkan."
    (Desiree Roman Stadthagen, Buletin EENET No. 4)

    MOZAMBIQUE – Memotivasi Guru
    Sebuah kompetisi pendidikan inklusif diselenggarakan bagi guru-guru untuk menunjukkan bagaimana mereka mengidentifikasi anak yang mengalami kesulitan dalam belajar dan bagaimana mereka meresponnya. Guru yang membuat laporan kasus terbaik diberi hadiah sepeda, radio dan buku tentang pendidikan inklusif. Guru-guru itu menyatakan bahwa:
    “Jelas bahwa kami memerlukan lebih banyak pelatihan dan dukungan yang terus-menerus. Penting untuk selalu berdiskusi dengan rekan-rekan sejawat dari sekolah lain... guru merupakan ‘orang tua kedua’ dan mereka harus menerima semua jenis anak.”
    (Elina Lehtomaki, Buletin EENET no. 6)

    LESOTHO - Bagaimana Pendidikan Inklusif dapat Membuat guru lebih Bahagia
    Studi kelayakan program pendidikan inklusif di Lesotho menemukan bahwa 19% anak yang sudah masuk sekolah dasar mengalami kesulitan dalam belajar. Oleh karena itu program ini memfokuskan pada peningkatan kemampuan guru agar dapat merespon kebutuhan belajar setiap anak, termasuk menemukan cara agar kurikulum dapat diakses oleh mereka yang menyandang ketunaan.
    “Saya lebih senang mengajar. Program ini telah memperlengkapi kami dengan berbagai teknik untuk menghadapi siswa-siswa yang disebut normal; bahkan setelah jam mengajar berakhir, kami terus bekerja untuk membuat persiapan.”
    “Bahkan tanpa program (integrasi anak penyandang ketunaan) pun kami masih harus dapat mengatasi berbagai perbedaan individu... Saya mendapati bahwa dengan memiliki pengetahuan tentang mengases kekuatan dan kelemahan, saya dapat memahami kebutuhan individu setiap siswa.”
    “Pendidikan itu untuk Semua. Semua orang yang diabaikan ini – diabaikan untuk waktu yang sangat lama – mereka mempunyai hak atas pendidikan! Terutama karena kami belajar banyak dari mereka.”
    “Masalah silabus adalah masalah sikap... Bahkan sebelum ada program pendidikan inklusif ini pun kebanyakan dari kami tidak dapat menyelesaikan silabus... Untuk siapakah silabus itu? Kita tidak dapat mengesampingkan anak-anak itu hanya karena kita harus menyelesaikan buku yang disebut silabus ini!”
    (Dikutip dari guru-guru dalam Sue Stubbs, 1995 studi kasus tentang pendidikan inklusif di Lesotho)

    5.3. Siswa Aktif: Partisipasi Anak
    Anak kepada Anak dan Pendidikan Inklusif

    SWAZILAND
    Metode pengajaran dari anak kepada anak dipergunakan sebagai bagian dari program RBM Kementrian Kesehatan untuk memberdayakan dan mendidik anak tentang masalah-masalah ketunaan. Anak:
    • Mengarang lagu dan mempertunjukkan drama untuk meningkatkan kesadaran di sekolah dan masyarakat
    • Mencakup Menjangkau masalah-masalah seperti keselamatan di jalan raya, HIV/AIDS dan ketunaan
    • Membantu membangun jalan landai (ramp), atau membuat toilet yang aksesibel, merancang peralatan tempat bermain

    “Anak dilibatkan dalam mendidik masyarakat tentang perlunya inklusi dengan menantang sikap negatif terhadap penyandang ketunaan."
    (Sindi Dube, Buletin EENET No.2)

    ZAMBIA - Mendorong Siswa Aktif
    “Setiap orang mengajar dan setiap orang belajar dari satu sama lain.” Paul Mumba, seorang guru kelas SD di Zambia, menggunakan metode mengajar dari anak kepada anak untuk membantu mendorong anak agar menjadi siswa yang lebih akti.
    Beberapa aktifitasnya meliputi:
    • Mengembangkan materi pengajaran dan pembelajaran yang mengupas masalah-masalah ketunaan dan inklusi
    • Menelaah peranan kerja kelompok untuk mendukung inklusi di kelas
    • Mengembangkan tes asesmen sederhana yang dapat dipergunakan oleh anak dan guru di rumah dan di masyarakatnya
    • Memasangkan anak penyandang ketunaan dan anak non-cacat sehingga mereka dapat bekerjasama untuk saling mendukung di sekolah dan masyarakat untuk mempromosikan inklusi.
    (Paul Mumba, Buletin EENET no.3)

    LESOTHO - Perspektif seorang anak
    Mamello (seorang anak perempuan yang mengidap penyakit tulang rapuh) mampu terus belajar di sebuah sekolah reguler walaupun mendapat perlakuan yang kurang baik dari guru-gurunya, karena dia mendapat bantuan dari teman-temanya. Untuk dapat pergi ke sekolah, dia harus didorong dengan kursi rodanya memalui jalan yang kasar. Sering kali kursi rodanya terbalik dan mengalami patah tulang. Masyarakat di sekitarnya begitu suportif kepada ‘wanita kecil” ini sehinggga mereka bergotong-royong memperbaiki jalan menuju sekolahnya agar Mamello dapat pergi ke sekolah tanpa harus mengalami patah tulang lagi.
    “Saya diajari membaca dan menulis di rumah oleh sahabat saya – kami selalu bermain bersama. Kami membentuk kelompok paduan suara dan banyak anak lain yang ikut bergabung. Guru-guru dari sekolah dasar mengunjungi kami dan memberi tugas kepada saya.”
    (Mamello Fosere, buletin EENET no.5)

    5.4. Peranan Aktifis: Para Penyandang ketunaan dan Orang Tua

    Peran orang tua dalam Pendidikan Inklusif

    LESOTHO - Saling Memberi dan Menerima antara Orang tua dan Sekolah
    Orang tua telah berkolaborasi dalam mengembangkan program pendidikan inklusif dan terbukti sebagai ‘mitra kerja yang setara’ dengan guru. Kontribusi mereka meliput i:
    • Membantu dan memberi advis kepada guru tentang cara menangani anaknya
    • Menjadi pembicara dan berbagi pengalaman dalam seminar guru dan in-service training­
    • Pelatih orang tua dan narasumber orang tua dapat bekerja dengan sekolah lain untuk membantu mengembangkan pendidikan inklusif
    • Bekerjasama dan membuat perencanaan bersama dengan kelompok-kelompok stakeholder utama lainnya: Federasi Nasional Organisasi Penyandang ketunaan Lesotho dan program RBM.

    Mereka juga mendapatkan manfaat dari program pendidikan inklusif:
    • Mereka menjadi lebih sadar akan kebutuhan anaknya
    • Pengetahuan yang mereka dapatkan dengan menghadiri lokakarya bagi guru-guru meningkatkan kepercayaan diri dan memberdayakan mereka.
    (Janak Thapa, Buletin EENET no.5)

    Orang Penyandang ketunaan sebagai Model Peran yang Positif

    INDIA – Inklusi Sosial menuju Inklusi Pendidikan
    Di India Selatan, para aktivis penyandang ketunaan bekerjasama dengan masyarakat untuk mempromosikan inklusi sosial yang pada gilirannya meretas jalan menuju inklusi dalam pendidikan. Mereka melakukannya dengan:
    - Menciptakan model peran yang positif – siswa penyandang ketunaan dilatih sebagai agen perubahan dan menyampaikan informasi yang berharga tentang kesehatan kepada masyarakat. Mereka mulai dipandang sebagai sumber daya yang berharga di masyarakat.
    Mereka mendorong keluarga-keluarga untuk membiarkan anaknya yang penyandang ketunaan untuk keluar rumah dan bermain bersama anak-anak lain di tempat bermain yang inklusif. “Hal ini memberi kesempatan kepada anak penyandang ketunaan dan non-cacat beserta orang tuanya untuk bergaul, meretas jalan menuju penerimaan dan inklusi. Saling mengenal merupakan benih inklusi’. (B Venkatesh, Buletin EENET no. 4)

    Nepal – Model Peran Penyandang ketunaan Mengubah Sikap
    Seorang anak tunanetra, Jetha Murmu, tidak bersekolah. Orang tuanya menjadi sangat marah ketika seorang petugas RBM menyarankan agar dia disekolahkan. Akhirnya petugas RBM tersebut mempertemukan orang tua itu dengan seorang wanita tunanetra yang dapat membaca dan menulis Braille dan merupakan anggota yang aktif dari keluarganya. Setelah itu orang tua tersebut mengubah sikapnya dan mengizinkan petugas RBM itu melatih Jetha membaca dan menulis Braille. Petugas RBM tersebut harus bekerja keras untuk meyakinkan agar sekolah bersedia menerima Jetha sebagai siswa, tetapi akhirnya berhasil. Anak tersebut kini terkenal didesanya sebagai “satu-satunya orang yang mampu membaca dan menulis tanpa lampu di malam hari”. (Janak Thapa, bulletin EENET no. 5

    5.5. Pendidikan Inklusif di Dunia Nyata
    Pendidikan Inklusif dan Kemiskinan

    MALI - Inklusi dalam kondisi kemiskinan yang ekstrim
    Distrik Douentza di Mali adalah salah satu daerah termiskin di dunia. 90% penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Hanya 8% anak yang bersekolah, dan 87% anak usia 7 tahun bekerja sekitar 6 jam perhari. Hanya 6% dari desa-desa memiliki sekolah dan guru-gurunya tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dan beban kerjanya sangat tinggi. Dalam konteks ini, program rintisan pendidikan dikembangkan yang di dalamnya juga terdapat inklusi sebagai komponen inti:
    • Program rintisan dimulai dengan studi kelayakan yang seksama dengan melibatkan SEMUA stakeholder di masyarakat untuk menampung perspektifnya tentang pendidikan dan persekolahan.
    • Masyarakat tersebut memprioritaskan pendidikan, dan komite sekolah dibentuk yang mencakup seorang wanita yang bertanggungjawab untuk memperhatikan pendidikan bagi anak perempuan dan penyandang ketunaan.
    • Keputusan untuk melibatkan anak penyandang ketunaan jarang diprioritaskan secara spontan oleh masyarakat miskin, karena mereka tidak memiliki contoh positif yang menunjukkan bahwa anak tersebut dapat belajar dan produktif. Tenaga pendorong dari luar sering dibutuhkan untuk memberi perhatian terhadap penyandang ketunaan ( dalam hal ini LSM).

    “Banyak hambatan yang menyebabkan anak penyandang ketunaan diabaikan, tetapi ada hambatan-hambatan tertentu yang spesifik untuk inklusi anak penyandang ketunaan.”
    • Anak dengan ketunaan mobilitas, penglihatan dan pendengaran diinklusikan. Satu anak terbukti memiliki kemampuan belajar yang lebih baik daripada banyak anak lain yang tidak cacat.
    "Kami memulai dengan komitmen untuk mengikutsertakan anak penyandang ketunaan, tetapi sesungguhnya kami tidak benar-benar yakin apakah mereka dapat bersekolah. Sekarang kami sudah milihatnya sendiri, dan kami telah beralih dari komitmen menjadi keyakinan.”
    (Sue Stubss Buletin EENET no.4)

    INDIA – Pendidikan inklusif perlu Tanggap terhadap Kemiskinan
    Seorang petugas RBM bertanya kepada seorang ibu dari seorang anak tunarungu usia 8 tahun: “Mengapa anda tidak menyekolahkan anak anda di TK pada Pusat Bantuan Diri? Sekolah itu dekat sekali dari rumah anda, bukan?”
    Ibu itu menjawab: “Anak saya sibuk. Saya membutuhkan dia untuk membawa kambing-kambing ke padang rumput. Saya hanya dapat mengirimnya ke sekolah kalau dia tidak ada pekerjaan di rumah.”
    (Rua Banerjee, Seva in Action, Bangalore)

    Pendidikan Inklusif lebih Luas daripada Persekolahan – Konteks Masyarakat

    BANGLADESH - Belajar dari Pendidikan Non-Formal
    Program pendidikan dasar non-formal Bangladesh bertujuan untuk menurunkan tingkat buta huruf, meningkatkan partisipasi anak perempuan dan memberikan pendidikan dasar untuk semua, terutama yang paling miskin. Ini ditandai oleh:
    • Jadwal yang fleksibel – pelajaran di pagi hari, bergiliran.
    • Guru-gurunya mendapat pendidikan keguruan di lembaga pendidikan lokal
    • Ada in-service training bulanan
    • Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan jadwal, pembangunan, dan penyediaan bahan
    • Metode pengajaran yang terpusat pada diri siswa
    • Penggunaan permainan dan aktifitas yang kreatif dalam kurikulum.

    “Sistem pendidikan formal dengan pendekatan yang kaku dapat belajar banyak dari pendidikan non-formal dengan pendekatan yang inovatif, yang lebih terpusat pada diri anak dan menekankan cara belajar siswa aktif. Hubungan ini akan menyuburkan benih pendidikan inklusif di Bangladesh.”
    (Anupam Ahuja, Buletin EENET no.4)

    VIETNAM - Peranan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat
    “Sejumlah petugas RBM telah bekerjasama dengan guru-guru sekolah dasar untuk membuat alat bantu rehabilitasi dengan harga terjangkau dan melaksanakan survey bersama untuk mengidentifikasi anak-anak yang sudah siap untuk mulai bersekolah. Pembelajaran di rumah dianjurkan dalam seting keluarga bila tidak memungkinkan untuk anak datang ke sekolah setempat. Usia dan derajat ketunaan tidak dipandang sebagai hambatan terhadap pembelajaran dalam konteks masyarakat.”
    (Trinh Duc Duy, Buletin EENET no.2)

    Inisiatif Masyarakat dalam Menginklusikan Berbagai Kelompok Minoritas

    UGANDA - Inklusi untuk Kaum Pengembara
    Di Karamoja, Uganda, suku Karimojong adalah semi-pengembara yang menggantungkan hidupnya pada ternak. Hanya 11,5% yang melek huruf. Anak memiliki kewajiban mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggaan yang penting untuk keberlangsungan hidup keluarga. Program PDAK [Pendidikan Dasar Alternatif untuk Karamoja] sangat berbasis masyarakat dan mempromosikan inklusi sebagai berikut:
    • Program ini diprakarsai oleh masyarakat dan fasilitatornya dipilih dari kalangan masyarakat sendiri.
    • Bidang-bidang pembelajarannya sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat dan keberlangsungan hidup mereka, yang mencakup pendidikan peternakan, bercocok tanam, perdamaian dan keamanan serta kesehatan.
    • Fasilitator mengajar di pagi hari sebelum mereka harus pergi ke ladang dan dilanjutkan di malam hari ketika pekerjaannya telah selesai.
    • Anak perempuan masih dapat mengasuh adik-adiknya yang masih kecil.
    • Anak laki-laki masih dapat mengembalakan ternaknya dan ikut belajar membaca dan menulis.
    • Para orang tua dan orang lanjut usia boleh hadir dan berpartisipasi.
    • Bahasa pengantarnya adalah bahasanya sendiri.
    • Metode mengajarnya aktif dan menggunakan musik dan tarian.
    • Warga masyarakat yang lanjut usia merupakan fasilitator spesialis tentang sejarah penduduk asli dan pengetahuan tentang ketahanan hidup.
    • Kantor Pendidikan distrik memegang peranan utama, yaitu pengadministrasian PDAK dan memperkuat hubungan program ini dengan sistem formal.
    • Mereka juga mendorong partisipasi anak penyandang ketunaan.
    (Margarita Focas Licht, Buletin EENET no.4)

    FILIPINA - Inklusi bukan berarti integrasi yang tidak dipaksakan
    Di Filipina, suku Manoba merupakan masyarakat pegunungan yang minoritas yang telah terusir dari tanah leluhurnya dan hidup dalam kemiskinan. Mereka enggan berpadu dengan masyarakat pendatang dan oleh karenanya anak-anaknya cenderung tereksklusi dari program pendidikan. Program Pendidikan Menolong Diri Sendiri yang Tepat untuk Masyarakat Budaya (SHEPACC), dengan pendanaan dari Handicap International, memberikan kontribusi pada pusat belajar berbasis masyarakat yang diselenggarakan oleh guru-guru yang ditunjuk oleh masyarakat, dan mendapat pelatihan tentang pembelajaran berbasis masyarakat dan tepat budaya. Sekitar 10% dari anak-anak dalam program ini sejauh ini telah berhasil diinklusikan di sekolah reguler.
    (Evelina Tabares, bulletin EENET no. 2)

    Republik Ceko – Mengatasi Rasialisme melalui Inklusi
    Di Ceko, sekolah-sekolah reguler tidak kondusif untuk keberagaman. Terdapat sikap rasialisme yang kuat terhadap orang-orang Rumania yang dipandang inferior dan lebih cocok bersekolah di sekolah-sekolah khusus. lebih dari 50% anak Rumania bersekolah di sekolah khusus. Sebuah LSM sudah mulai berhasil dalam membantu anak-anak Rumania diinklusikan di sekolah reguler. Mereka melakukannya dengan:
    • Membangun harga diri anak-anak Rumania
    • Berusaha mengubah sikap sekolah
    • Bekerjasama dengan keluarga
    • Menempatkan guru Bantu di sekolah untuk membantu anak-anak Rumania di kelas
    • Berusaha meningkatkan kemampuan belajar orang-orang Rumania dewasa.
    (Alison Cross, bulletin EENET no. 3)

    Inklusi dalam Situasi Konflik dan Pengungsian

    Pendidikan Inklusif di Kam Pengungsi Bhutan
    Promosi Pendidikan Inklusif di Kamp Pengungsi Jhapa merupakan komponen integral dari program RBM, yang bertujuan untuk menanggapi kebutuhan dan permasalahan yang terdapat di dalam kelompok sasaran. Komponen-komponen utamanya meliputi:
    • Kunjungan rumah oleh petugas RBM, yang melibatkan orang tua dan tetangga, dan yang memobilisasi orang tua untuk mengintegrasikan anak penyandang ketunaan ke sistem sekolah reguler.
    • Program untuk penyandang ketunaan ini telah membentuk kelompok perwakilan yang beranggotakan para orang tua anak penyandang ketunaan. Kelompok ini mengadakan pertemuan dua kali sebulan dengan staf Save the Children Fund untuk menelaah kemajuan, permasalahan dan cara pemecahannya.
    • Koordinasi yang aktif dipelihara dalam praktek dan kebijakan antara lembaga-lembaga sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial yang saling terkait.
    • Pendekatan RBM yang holistik penting untuk mendukung inklusi anak penyandang ketunaan dalam pendidikan. Misalnya, anak tunanetra membutuhkan latihan mobilitas dan Braille, sedangkan anak-anak tunadaksa tertentu membutuhkan fisioterapi dan peralatan mobilitas seperti alat pembantu berjalan, tongkat ketiak, batang paralel, kursi toilet, kursi sudut, dan belat. Guru dan orang tua diberi pelatihan.

    “Hingga tahun 1997, lebih dari 700 anak telah diintegrasikan ke dalam sekolah reguler. Ini mencakup anak dengan ketunaan sensori dan fisik, dan anak dengan kesulitan belajar ringan.”
    (Sue Stubbs, Studi Kasus Kam Pengungsi Jhapa)

    PALESTINA - Konflik Dapat Memunculkan Kesempatan
    Dalam konteks pendudukan Israel dan kerusuhan yang berkepanjangan, sektor ketunaan telah diasingkan dari masyarakat umum dan terus mengembangkan model pendidikan dan rehabilitasi yang segregasi. Ironisnya, Intifada (kebangkitan bangsa Palestina) secara tiba-tiba juga memunculkan perhatian orang pada masalah-masalah ketunaan... Minat terhadap ketunaan ini membawa banyak perubahan yang positif jauh melampaui rehabilitasi berbasis institusi. Misalnya, RBM diperkenalkan, dan perlunya pendidikan bagi penyandang ketunaan di dalam masyarakat dirasakan.
    Tetapi tantangannya adalah bahwa jutaan dolar dihabiskan untuk rehabilitasi medis bagi mereka yang terluka selama Intifada; "kebutuhan mayoritas penyandang ketunaan dipandang kurang penting.”
    (George Malki, Buletin EENET no.1)

    5.6. Apakah Inklusi untuk Semua orang?

    “Dilema Penyandang Tunarungu”

    “Orang tunarungu membutuhkan masyarakat tunarungu yang kuat. Setelah ini diperkuat, penyandang tunarungu dapat menikmati manfaat hidup di dalam masyarakat orang-orang yang dapat mendengar.”
    (Raghav Bir Joshi, Direktur Asosiasi Tunarungu Kathmandu, Buletin EENET no.2)
    Apakah ‘dilema penyandang tunarungu’ yang terdapat dalam pendidikan inklusif di negara-negara miskin?
    Tingkat ketunarunguan dapat ringan, sedang atau berat, dan pengaruhnya terhadap individu pun berbeda-beda. Anak-anak tertentu dengan tingkat ketunarunguan ringan dapat belajar dalam lingkungan pendidikan reguler asalkan gurunya menyadari keadaan anak-anak itu, telaten menghadapkan wajahnya kepada mereka saat berbicara, dan berbicara serta menulis dengan jelas. Tetapi untuk banyak anak tunarungu, hal ini tidak memungkinkan. Alat bantu dengar tidak hanya sulit dan mahal untuk diperoleh, tetapi juga memerlukan pemeliharaan dan monitoring yang terus-menerus, yang biasanya tidak mungkin dilakukan di masyarakat pedesaan yang terpencil. Di samping itu, alat bantu dengar tidak “memecahkan persoalan” ketunarunguan karena alat ini hanya memperkeras bunyi, tidak mengajarkan ketrampilan berbahasa. Masalah utamanya adalah bahwa anak tunarungu tidak akan dapat mengembangkan keterampilan bahasa dan komunikasi secara otomatis di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya sendiri yang dapat mendengar. Mereka sudah dieksklusikan sejak lahir di keluarganya sendiri hanya karena tidak dapat menggunakan bahasa yang sama. Mereka membutuhkan kontak dengan sesama penyandang tunarungu agar dapat mengembangkan bahasa isyarat, dan itulah sebabnya banyak penyandang tunarungu berargumen bahwa sekolah atau unit khusus diperlukan untuk mereka. ada juga anak yang buta-tuli, dan tantangan untuk inklusi bagi mereka bahkan lebih berat lagi.
    Masalah yang dihadapi mayoritas anak tunarungu di negara-negara secara ekonomi miskin adalah bahwa sekolah khusus yang berasrama itu amat mahal biayanya, hanya dapat memenuhi kebutuhan sejumlah kecil anak saja, dan akibat terpisahnya mereka dari keluarga dan masyarakatnya dapat menyebabkan tidak dimilikinya keterampilan yang diperlukan untuk bertahan hidup, misalnya keterampilan pertanian. Bahkan yang lebih buruk lagi, banyak sekolah khusus untuk tunarungu itu melarang penggunaan bahasa isyarat dan mengharuskan penggunaan metode oral, yang bertentangan dengan rekomendasi Peraturan Standar PBB dan Pernyataan Salamanca.
    Jadi, ‘dilema penyandang tunarungu’ di sini adalah:
    • Bahasa Isyarat hanya dapat berkembang apabila penyandang tunarungu belajar bersama-sama dengan penyandang tunarungu lainnya, tetapi:
    • Pendidikan segregasi tidak mempromosikan inklusi di dalam keluarga atau masyarakat, tetapi:
    • Tanpa Bahasa Isyarat, sangat sulit bagi penyandang tunarungu untuk tercakup di dalam kegiatan kehidupan keluarga atau masyarakatnya.

    Solusi
    • Orang dewasa tunarungu merupakan sumber daya manusia yang paling jelas ada untuk pendidikan anak-anak tunarungu. Di beberapa negara Afrika, keterlibatan orang dewasa tunarungu dalam pendidikan bagi anak tunarungu telah membuat lebih banyak kemajuan daripada di banyak negara Utara.
    • Inklusi harus dilihat sebagai lebih luas daripada persekolahan, dan di dalam masyarakat, kelompok kecil anak dan orang dewasa tunarungu dapat bertemu untuk belajar bahasa isyarat tanpa dipisahkan dari keseluruhan perencanaan dan penyelenggaraan pendidikan, dan mereka dapat tetap tinggal di dalam masyarakat.
    • Pendidikan bilingual perlu diteliti pada tingkat keluarga, masyarakat dan sekolah.

    Anak Penyandang Ketunaan Parah dan/atau Ketunaan Ganda
    Sering kali diasumsikan bahwa pendidikan inklusif bukan untuk anak yang memiliki ketunaan fisik dan intelektual yang parah. Asumsi ini biasanya didasarkan pada pemikiran yang kaku tentang pendidikan dan persekolahan. Asumsi ini didasarkan pada model yang meyakini bahwa anak harus menyesuaikan diri dengan sistem, bukan sistem yang disesuaikan dengan kebutuhan anak. Inklusi anak penyandang ketunaan yang sangat berat juga mempunyai implikasi yang berbeda di negara-negara Utara dan Selatan.
    • Di Utara, pendidikan inklusif cenderung diartikan sama dengan sekolah Inklusif. Terdapat semakin banyak contoh tentang anak penyandang ketunaan berat diinklusikan pada semua jenjang.

    ISLANDIA - Perencanaan yang Baik Dapat Mengatasi Hambatan
    Anak laki-laki yang sangat parah ketunaannya diinklusikan secara penuh di kelas 5 sekolah terdekat. Dia menggunakan sistem komunikasi yang disebut ‘Bliss’ untuk mengekspresikan dirinya, baik melalui tabel atau dengan bantuan lampu senter yang ditempelkan pada kacamatanya.
    “Situasi yang sangat baik dalam kelas ini bukanlah suatu kebetulan, tidak pula terjadi secara alami, ini efektif karena direncanakan dengan baik, sebagaimana halnya dengan praktek-praktek yang baik lainnya di sekolah itu. Guru-gurunya, bekerjasama erat dengan orang tua, telah mengembangkan keterampilannya, memupuk suasana positif untuk pembelajaran dan pertumbuhan sosial.”
    (Rosa Eggertdottir, Buletin EENET no.1)

    Di Selatan, terdapat perbedaan besar antara anak penyandang ketunaan berat yang diinklusikan dan dieksklusikan, termasuk jika anak tersebut berada di rumah dan bukan di sekolah. Lihat Bab 2 untuk contohnya. Program RBM yang bekerjasama secara erat dengan pendidikan inklusif sering kali merupakan strategi yang memfasilitasi keberhasilan inklusi ini.

    5.7. Tantangan: Mengatasi Hambatan

    Partisipasi yang Berkesinambungan
    Contoh-contoh di atas dengan jelas menunjukkan bahwa ‘di mana ada kemauan, disitu ada jalan'. keberhasilan pendidikan inklusif tidak tergantung pada suatu formula yang sempurna, tetapi ditentukan oleh kesediaan orang untuk bekerjasama untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan jika muncul. Inilah sebabnya mengapa partisipasi yang terus-menerus itu penting. Jika stakeholder utama tidak secara penuh dilibatkan dan tidak merasa memiliki program pendidikan inklusif, maka jika muncul masalah dalam konteks mereka, mereka tidak akan termotivasi untuk bertindak.

    EENET - Membangun Percakapan
    Salah satu tujuan utama Enabling Education Network (EENET) adalah untuk ‘membangun percakapan’ tentang inklusi kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dalam pendidikan. Untuk tujuan tersebut, EENET telah terlibat dalam beberapa proyek untuk membantu agar orang mampu berpikir kritis tentang hal-hal yang biasa dipraktekkannya. Salah satu proyeknya adalah membangkitkan para praktisi lokal untuk merenungkan dan menganalisis pengalamannya sendiri. Tiga pertanyaan sederhana diajukan untuk memfasilitasi hal tersebut:
    1. Apa hambatan partisipasi dan belajar anak?
    2. Bagaimana hambatan ini dapat diatasi?
    3. Siapa yang perlu dilibatkan?

    Terdapat banyak jenis hambatan, dan kategorisasi berikut ini dibuat oleh para praktisi dari negara-negara Selatan. Hambatan dan Kesempatan yang terkait dengan:
    a) Orang: anak, guru, orang tua, pekerja berbasis masyarakat;
    b) Uang dan materi: donor eksternal, keberlangsungan, peralatan yang diproduksi secara lokal;
    c) Pengetahuan dan informasi: melek huruf, kebijakan, pemecahan masalah lokal, konsep asing, dokumentasi internasional.
    (Lihat situs web EENET untuk informasi lebih lanjut – informasi diberikan pada bab 7)


    Menganalisis Hambatan dan Kesempatan
    Tabel berikut ini memberikan contoh bagaimana berbagai faktor dapat menjadi kesempatan ataupun tantangan dalam kaitannya dengan tiga “faktor utama” yang telah dibahas pada bab 4.

    Faktor Penentu Utama Keberhasilan PI:
    1. Kerangka kerja yang kuat (rangka):
    • Nilai-nilai, keyakinan
    • Prinsip-prinsip utama
    • Indikator keberhasilan
    2. Implementasi dalam Budaya dan Konteks Lokal

    • Situasi praktis
    • Sumber daya
    • Masalah budaya
    3. Monitoring Partisipatori berkesinambungan (nafas-darah)
    • Siapa
    • Bagaimana
    • Apa dan kapan

    Kesempatan untuk Pengembangan PI:
    • Inisiatif peningkatan mutu sekolah
    • Instrumen hak asasi manusia
    • Model-model baik yang ada
    • Inisiatif berbasis masyarakat, misalnya RBM
    • Rintisan program nonformal
    • Budaya dengan fokus solidaritas masyarakat yang kuat
    • Para aktivis: kelompok-kelompok penyandang ketunaan dan orang tua
    • Inisiatif partisipasi anak, misalnya dari anak kepada anak
    • Cara yang partisipatif dan kreatif

    Model ini dapat dikembangkan dengan berbagai cara menurut budaya dan konteks lokal. Satu contoh tentang cara menganalisis hambatan yang telah dipergunakan dalam situasi praktis dapat dilihat pada tabel berikut. Analisis ini dikembangkan selama evaluasi TENGAH PROGRAM yang melibatkan semua stakeholder utama.

    Contoh dari Mali – PENERAPAN model sosial untuk mengatasi hambatan
    1. Penyelenggaraan negara yang KURANG tepat dan tidak memadai
    • Mencari alternatif seperti dukungan masyarakat dan LSM
    • Konsultasi dengan masyarakat setempat
    Kolaborasi antara LSM, masyarakat dan negara
    2. Pendidikan untuk anak perempuan tidak dipandang sebagai prioritas dalam budaya Mali
    • Mengambil keputusan untuk memastikan bahwa 50% jatah tempat di sekolah diperuntukkan bagi anak perempuan
    • Seorang anggota komite manajemen (seorang wanita) diberi tanggung jawab khusus untuk rekrutmen anak perempuan
    Teater dan grup musik lokal dipergunakan untuk meningkatkan kesadaran dan mengubah sikap masyarakat lokal terhadap anak perempuan dan pendidikannya.
    3. Akses anak penyandang ketunaan terhadap pendidikan tidak diprioritaskan oleh pemerintah, LSM, ataupun masyarakat di Mali
    • Kolaborasi dengan LSM ketunaan untuk mengidentifikasi anak penyandang ketunaan dan meningkatkan kesadaran
    • Keputusan untuk mewajibkan inklusi anak penyandang ketunaan sejak awal
    • Orang dari komite manajemen yang bertanggung jawab atas rekrutmen anak perempuan juga ditugasi untuk rekrutmen anak penyandang ketunaan
    Teater dan grup musik lokal dipergunakan untuk meningkatkan kesadaran dan perubahan sikap terhadap ketunaan.
    4. Tidak ada transportasi bagi anak tunadaksa untuk pergi ke sekolah
    • Pada awalnya orang tua menggendong anaknya setiap hari.
    Kolaborasi dengan LSM Ketunaan menghasilkan penyediaan kendaraan roda tiga bagi yang membutuhkannya.
    5. Orang tua enggan membawa anaknya yang cacat ke luar rumah
    • Peningkatan kesadaran dan mobilisasi orang tua dengan dukungan dari LSM Ketunaan
    6. kurangnya tenaga kependidikan di desa
    7. Diambil keputusan bahwa pengetahuan dan pengalaman penduduk desa lebih relevan bagi anak desa daripada keahlian guru-guru profesional yang mendapat pendidikan di kota
    • Penduduk setempat dipilih dan kemudian dilatih oleh profesional
    8. masyarakat setempat sangat miskin dan tidak memiliki waktu luang ataupun sumber
    • Jika penduduk desa memang menginginkan sebuah sekolah, maka mereka akan mempunyai motivasi untuk mendukung dan memelihara sekolah itu.
    • Penduduk desa berhasil mendapatkan sumber untuk membangun rumahnya sendiri dan mengelola bidang-bidang lain kehidupannya.
    • Keterlibatan seluruh masyarakat sejak tahap analisis dan perencanaan itu sangat penting.
    • Kontribusi penduduk desa dimulai sejak awal yang mencakup pembangunan fisik sekolah, memberikan kontribusi finansial untuk gaji guru dan bertanggung jawab untuk manajemen secara umum.
    Monitoring dan dukungan yang berkesinambungan dari SCF juga sangat penting
    9. Kurangnya pengetahuan dan pengalaman tentang pendidikan yang aksesibel bagi anak tunarungu
    • Pelatihan dan dukungan yang berkesinambungan dari ADD dan penilaian yang realistis terhadap seluruh kehidupan anak tunarungu; tidak ada gunanya jika hanya menempatkan secara fisik saja anak tunarungu yang lebih besar di sekolah.
    Lebih banyak bekerjasama dengan orang tua dan keluarga dalam mengembangkan komunikasi dengan anaknya yang tunarungu.

    Kembali ke Bab 4: Bagaimana Kita Dapat Merencanakan Pendidikan Inklusif?

    Labels:

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI