DOCTYPE html PUBLIC "-//W3C//DTD XHTML 1.0 Strict//EN" "http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-strict.dtd"> Didi Tarsidi: Counseling, Blindness and Inclusive Education: Dampak Ketunanetraan terhadap Keterampilan Mobilitas Anak
  • HOME


  • Guestbook -- Buku Tamu



    Anda adalah pengunjung ke

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Comment

    Jika anda ingin meninggalkan pesan atau komentar,
    atau ingin mengajukan pertanyaan yang memerlukan respon saya,
    silakan klik
  • Komentar dan Pertanyaan Anda




  • Contents

    Untuk menampilkan daftar lengkap isi blog ini, silakan klik
  • Contents -- Daftar Isi




  • Izin

    Anda boleh mengutip artikel-artikel di blog ini asalkan anda mencantumkan nama penulisnya dan alamat blog ini sebagai sumber referensi.


    29 December 2007

    Dampak Ketunanetraan terhadap Keterampilan Mobilitas Anak

    Oleh Didi Tarsidi
    Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

    Mungkin kemampuan yang paling terpengaruh oleh ketunanetraan untuk berhasilnya penyesuaian sosial individu tunanetra adalah kemampuan mobilitas - yaitu keterampilan untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya. Keterampilan mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan orientasi, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan lokasi antara diri dengan obyek-obyek di lingkungan sekitar dan antara satu obyek dengan obyek lainnya di dalam lingkungan. Para pakar dalam bidang orientasi dan mobilitas telah merumuskan dua cara yang dapat ditempuh oleh individu tunanetra untuk memproses informasi tentang lingkungannya, yaitu dengan metode urutan (sequencial mode) yang menggambarkan titik-titik di dalam lingkungan sebagai rute yang berurutan, atau dengan metode peta kognitif yang memberikan gambaran topografis tentang hubungan secara umum antara berbagai titik di dalam lingkungan (Dodds et al. - dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Metode peta kognitif lebih direkomendasikan karena cara tersebut menawarkan fleksibilitas yang lebih baik dalam menavigasi lingkungan. Bayangkan tiga titik yang berurutan - A, B, dan C. Memproses informasi tentang orientasi lingkungan dengan metode urutan membatasi gerakan individu sedemikian rupa sehingga dia dapat bergerak dari A ke C hanya melalui B. Tetapi individu yang memiliki peta kognitif dapat pergi dari titik A langsung ke titik C tanpa harus melalui B.

    Akan tetapi, metode konseptualisasi ruang apa pun - metode urutan ataupun metode peta kognitif - individu tunanetra tetap berkekurangan dalam bidang mobilitas dibandingkan dengan sebayanya yang awas. Mereka kurang mampu atau tidak mampu sama sekali menggunakan “visual metaphor” (Hallahan & Kauffman, 1991:310). Di samping itu, para pelancong tunanetra harus lebih bergantung pada ingatan untuk memperoleh gambaran tentang lingkungannya dibandingkan dengan individu yang awas.

    Individu-individu tunanetra bervariasi dalam keterampilan orientasi dan mobilitasnya, tetapi Hallahan dan Kauffman mengemukakan bahwa tidak mudah untuk menentukan apa yang membuat satu individu tunanetra lebih baik keterampilannya daripada individu lainnya. Misalnya, akal sehat mungkin mengatakan bahwa mobilitas mereka yang masih memiliki sisa penglihatan akan lebih baik daripada yang buta total, tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. Hallahan dan Kauffman mengemukakan bahwa motivasi untuk mau bergerak merupakan faktor terpenting yang menentukan kemampuan mobilitas individu tunanetra.

    Usia terjadinya ketunanetraan juga tidak dapat memprediksi secara sempurna keterampilan mobilitas seorang individu (McLinden - dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Pada umumnya mereka yang kehilangan penglihatan pada usia dini tidak sebaik mereka yang ketunanetraannya terjadi kemudian dalam keterampilan mobilitasnya, tetapi ditemukan juga individu yang ketunanetraannya terjadi kemudian justru mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. Namun, dengan motivasi yang tepat, individu-individu ini dapat memanfaatkan kerangka acuan visual yang pernah dimilikinya (Warren & Bollinger - dalam Hallahan & Kauffman, 1991). Mereka dapat mengaitkan cara-cara non-visualnya dengan persepsi visual yang diperolehnya dari pengalaman sebelumnya sebagai orang awas. Di samping itu, mereka lebih beruntung daripada yang menjadi tunanetra sejak lahir karena pernah mengembangkan dasar-dasar mobilitas, seperti keterampilan berjalan, yang dipelajarinya pada masa kanak-kanak.

    Untuk membantu mobilitas itu, Alat bantu yang umum dipergunakan oleh orang tunanetra di Indonesia adalah tongkat, sedangkan di banyak negara Barat penggunaan anjing penuntun (guide dog) juga populer, dan penggunaan alat elektronik untuk membantu orientasi dan mobilitas individu tunanetra masih terus dikembangkan (Zabel, 1982).

    Banyak orang yang sudah lama menjadi tunanetra dan sudah berpengalaman banyak dalam bepergian secara mandiri berhasil mengembangkan suatu kemampuan yang mungkin turut membentuk anggapan orang bahwa individu tunanetra memiliki indera keenam atau sekurang-kurangnya memberi kesan bahwa dia mempunyai indera pendengaran yang luar biasa tajamnya. Kemampuan ini disebut "obstacle sense" (Hallahan & Kauffman (1991:311) atau “object perception” (Tn., 1985), suatu kemampuan yang memungkinkan individu tunanetra itu menyadari bahwa suatu benda hadir di sampingnya atau di hadapannya meskipun dia tidak memiliki penglihatan sama sekali dan tidak menyentuh benda itu. Fenomena ini sebagian dapat dijelaskan bahwa dia mendengar gema langkah kakinya sendiri atau bunyi lain yang ditimbulkannya yang dipantulkan oleh benda tersebut. Kehadiran benda itu juga dapat disadarinya melalui penginderaan yang dihantarkan oleh kulitnya. Kemampuan persepsi obyek ini biasanya dikembangkan oleh mereka yang buta total dan mungkin tidak dapat dimiliki oleh mereka yang mengalami gangguan pendengaran. Pengalaman menunjukkan bahwa mereka yang mampu menggunakan persepsi ini dengan baik dapat melindungi dirinya dari menabrak benda-benda besar, dan mendapatkan rasa aman bila berjalan di sepanjang pagar tinggi atau dinding bangunan tanpa menyentuhnya dengan tangannya atau tongkatnya.

    Agar anak tunanetra memiliki rasa percaya diri untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya dalam bersosialisasi, mereka harus memperoleh latihan orientasi dan mobilitas. Program latihan orientasi dan mobilitas tersebut harus mencakup sejumlah komponen, termasuk kebugaran fisik, koordinasi motor, postur, keluwesan gerak, keterampilan menggunakan tongkat, dan latihan untuk mengembangkan fungsi indera-indera yang masih berfungsi.

    Referensi

    Hallahan, D.p. & Kauffman, J.m. (1991). Exceptional Children Introduction to Special Education. Virginia:Prentice hall International, Inc.
    (TN.). (1985). Independent Living for the Visually Impaired. Winnetka: The Hadley School for the Blind
    Zabel, M. K. (1982). “Characteristics of Handicapping Conditions”. Dalam Neely, M. A. (1982). Counseling and Guidance Practices with Special Education Students. Homewood, Illinois: The Dorsey Press.

    Labels: ,

    :)

    Anda ingin mencari artikel lain? Silakan isi formulir pencarian di bawah ini. :)
    Google
  • Kembali ke DAFTAR ISI